Arabic Poetry Club (APC) ~ INDONESIA: Puisi Arab Pada Masa Jahiliah

ARABIC POETRY CLUB ~ INDONESIA

Membangun Hubungan yang Mesra dan Dinamis Antar Dua Sastra Dunia

Selamat datang di Arabic Poetry Club (APC) ~ Indonesia :: APC~Indonesia menerima terjemahan puisi, baik puisi Indonesia ke dalam bahasa Arab, maupun puisi Arab ke dalam bahasa Indonesia. Silakan kirimkan ke e-mail kami: arabicpoetryclub@gmail.com. Terima kasih.

Tentang Kami
Kami adalah klub para pencinta puisi Arab di Indonesia.
Visi Kami
Visi kami adalah membangun sebuah hubungan yang mesra dan dinamis antar dua sastra dunia (Arab dan Indonesia) melalui penerjemahan karya-karya puisi dari keduanya.
Misi Kami
Misi kami adalah memperkenalkan khasanah puisi Arab di Indonesia dan juga sebaliknya puisi Indonesia di dunia Arab melalui penerjemahan dari puisi Arab ke dalam bahasa Indonesia dan begitu pula sebaliknya dari puisi Indonesia ke dalam bahasa Arab.
Kontak Kami
Email APC~Indonesia: arabicpoetryclub@gmail.com
Alamat Facebook Kami

APC~INDONESIA on Facebook

Alamat Group Kami
Tentang Puisi Arab
Biografi Para Penyair Arab
Puisi Arab Dalam Versi Bahasa Indonesia
Puisi Indonesia Dalam Versi Bahasa Arab
Download Gratis Antologi Puisi Arab
Audio Puisi Arab
Pasang Iklan
Jika Anda berminat untuk memasang iklan, silakan hubungi kami melalui email: arabicpoetryclub@gmail.com
Lalu Lintas Blog

Sabtu, 12 September 2009
Puisi Arab Pada Masa Jahiliah

Kehidupan masyarakat Arab Jahiliah dapat dilihat dalam karya sastra yang merupakan produk zaman itu, karena sastra Arab Jahiliah adalah cerminan langsung bagi keseluruhan kehidupan bangsa Arab zaman Jahiliah tersebut, dari hal-hal yang bersifat pribadi sampai persoalan masyarakat umum. Dalam wacana kesusastraan Arab ini tergambar jelas kehidupan “kemah”, alam sekitar, masyarakat, budaya, dan peradaban, baik yang masih murni maupun yang telah dipengaruhi oleh bangsa asing, seperti Persia, Yunani, India, dan Romawi.

Sebenarnya sastra Arab Jahiliah berakar jauh sekali, bahkan pada masa-masa ribuan tahun sebelum Islam muncul. Akan tetapi, dalam catatan sejarah kesusastraan Arab, sastra Jahiliah dikenal sejak kira-kira satu abad menjelang Islam lahir sampai tahun pertama Hijriah. Hanna al-Fakhuri, seorang kritikus dan sastrawati dari Libanon, mengatakan bahwa sastra Jahiliah baru mulai (dianggap) ada pada akhir abad ke-5 dan mencapai puncaknya pada paruh pertama abad ke-6.

Puisi merupakan genre sastra Arab yang paling populer pada masa Jahiliah dibandingkan dengan genre-genre yang lain.

Pada umumnya puisi Arab pada masa tersebut mendeskripsikan keberadaan kemah, hewan sebagai kendaraan tunggangan, kehidupan mewah para bangsawan agar dengan begitu para pujangga mendapatkan imbalan materi dan pujian tertentu, alam sekitar, keberanian seseorang atau sekelompok kabilah, atau kecantikan seorang wanita pujaan.

Puisi pada masa jahiliah kebanyakan “dicatat” dalam ingatan para ruwat, pencerita, atau “pencatat benak”, tanpa harus mencatatnya dalam pengertian yang sebenarnya. Para ruwat, pencerita, merupakan para penghafal puisi dan silsilah para tokoh dari setiap kabilah Arab. Dengan begitu kelangsungan transmisi sastra puisi itu bisa terjaga dari generasi ke generasi. Di antara para pencerita yang dipandang memiliki hafalan paling kuat dari suku Quraisy pada masa Jahiliah adalah Mukhrimah bin Naufal dan Khuwaitib bin Abdul Uzza.

Menurut dugaan para sejarawan sastra Arab lama, hanya sedikit puisi Arab Jahiliah itu yang dapat direkam sejarah. Karya yang tidak tertulis dan kemudian hilang jauh lebih banyak. Hal itu disebabkan bahwa sebagian tersebut tidak sempat dikenal kemudian dihafal, sementara yang telah dihafal oleh sastrawan lain juga hilang bersamaan dengan meninggalnya mereka.

Bahasa dan kandungan puisi Arab Jahiliah sangat sederhana, padat, jujur, dan lugas. Namun demikian, emosi dan rasa bahasa serta nilai sastranya tetap tinggi, dikarenakan imajinasi dan simbol yang dipakai sangat baik dan mengenai sasaran. Meskipun demikian, ada beberapa puisi Arab Jahiliah yang sangat remang-remang atau sangat imajiner dan simbolis. Puisi seperti ini digubah dengan sangat padat dan sering menggunakan simbol yang samar sehingga sulit dicerna oleh kalangan umum, sehingga yang mampu mengapresiasikan puisi imajiner adalah kalangan tertentu yang memiliki pengetahuan sejarah dan latar belakang sang penyair. Dari sudut gaya, puisi Arab Jahiliah sangat mementingkan irama, ritme, rima, musik atau lagu, serta sajak (dikenal dengan nama qafiyah). Tetapi semua ini dilakukan secara wajar, bukan dengan memaksa mencari kata-kata hanya untuk kepentingan ritme dan sajak.

Bangsa Arab adalah bangsa yang amat senang terhadap puisi, karena itu mereka memandang para penyair sebagai orang yang memiliki kedudukan penting dalam masyarakat. Hal ini dapat dimaklumi karena seorang penyair dapat membela kehormatan kaum, keluarga, atau bangsanya. Bila di dalam sebuah kaum atau bangsa mereka menemukan seorang pemuda yang pandai dalam mencipta dan menggubah puisi, maka pemuda tersebut akan dimuliakan oleh seluruh anggota kabilah dari suku itu. Karena mereka beranggapan bahwa pemuda itu pasti akan menjadi tunas yang akan membela kaum atau bangsa dari segala serangan dan ejekan dari penyair kaum atau bangsa lain.

Bagi bangsa Arab, para penyair memiliki kedudukan yang tinggi, keputusan yang dikeluarkan oleh seorang penyair akan selalu dilaksanakan. Bagi mereka seorang penyair merupakan penyambung lidah yang dapat mengungkapkan kebanggaan dan kemuliaan mereka. Ibnu Rasyik dalam bukunya yang berjudul ‘Umdah, ia mengatakan:

“Biasanya setiap kabilah bangsa Arab yang mendapatkan seorang pemuda yang dapat merangkum sebuah gubahan puisi, maka anggota kabilah itu berdatangan untuk memberi ucapan selamat, dan mereka menyediakan berbagai aneka macam makanan. Sementara kaum wanita pun ikut berdatangan sambil memainkan rebana seperti yang biasa mereka mainkan dalam sebuah acara perkawinan. Kaum laki-laki, baik yang tua maupun yang muda, sama-sama bergembira. Karena mereka beranggapan bahwa penyair adalah seorang pembela kabilah dari serangan dan ejekan penyair dari kabilah lain, dan penyair itu pasti akan menjaga nama baik kabilahnya sendiri, yang akan mengabadikan kebanggaan-kebanggaan mereka dan yang akan menyebarluaskan kebaikan-kebaikan mereka. Kebiasaan tidak memberikan sambutan hangat, kecuali kepada anak bayi yang baru dilahirkan ibunya, kepada seorang penyair, dan kepada kuda kesayangan.”

Bangsa Arab telah menganggap betapa pentingnya peranan seorang penyair. Sehingga sering kali mereka mengiming-imingi seorang penyair yang dapat memberikan semangat dalam perjuangan dengan memberikan sokongan suara bagi seseorang agar dapat diangkat sebagai kepala kabilah. Ada pula yang menggunakan mereka sebagai perantara untuk mendamaikan pertikaian yang terjadi antara kabilah, bahkan ada juga yang menggunakan penyair untuk memintakan maaf dari seseorang penguasa.

Kedudukan puisi dan penyairnya sangat tinggi di mata orang Arab Jahiliah. Sebuah karya puisi dapat mempengaruhi, bahkan mengubah sikap atau posisi seseorang atau sekelompok orang terhadap sikap atau posisi orang dan kelompok lainnya. Para penyair, dengan demikian juga berfungsi sebagai agen perubahan sosial dan perubahan kebudayaan. Kedudukan atau pengaruh sedemikian ini hanya dapat ditandingi oleh para politisi tingkat tinggi di zaman modern ini. Kekuatan penyair bersumber dari kekuatan isi karyanya.

Masyarakat Jahiliah sering mengadakan festival sastra secara periodik. Ada festival sastra mingguan, bulanan, dan tahunan. Mereka juga membuat apa yang yang sekarang disebut dengan pasar seni. Di pasar seni ini para pujangga saling unjuk kemampuan dalam bersastra. Di antara pasar seni yang paling bergengsi pada zaman Jahiliah adalah pasar Dzu al-Majaz, yang terletak di daerah Yanbu’, dekat Sagar (kini termasuk wilayah Madinah); pasar seni Dzu al-Majinnah di sebelah barat Mekkah, dan pasar seni ‘Ukadz yang terletak di timur Mekkah, antara Nakhlah dan Tha’if. Di tiga tempat ini, masyarakat Jahiliah melangsungkan festival seni selasa selama 20 hari, sejak bulan Dzulqaidah.

Di pasar ‘Ukadz para penyair berlomba mendendangkan karya-karya mereka di depan dewan juri yang terdiri dari sejumlah pujangga yang telah memiliki reputasi. Karya-karya puisi yang dinyatakan sebagai yang terbaik akan ditulis dengan tinta emas di atas kain yang mewah, kemudian akan digantungkan di dinding Kakbah, yang kemudian dikenal dengan istilah al-Mu’allaqat (puisi-puisi yang digantungkan pada dinding Kakbah).

Sastra puisi Arab yang paling terkenal pada zaman Jahiliah adalah puisi-puisi al-Mu’allaqat. Dinamakan al-Mu’allaqat, karena puisi-puisi tersebut digantungkan pada dinding Kakbah. Pada zaman Jahiliah, menggantungkan sesuatu pada dinding Kakbah bukanlah hal yang aneh, karena setiapkali ada urusan yang penting, pasti akan digantungkan pada dinding Kakbah. Pada masa Rasulullah SAW, pernah terjadi konflik antara Beliau SAW dan Suku Quraisy. Suku Quraisy sepakat untuk tidak lagi berhubungan dengan Bani Hasyim. Mereka tidak akan kawin dan melakukan jual-beli dengan keturunan Bani Hasyim. Kesepakatan tersebut ditulis di atas perkamen dan digantungkan pada dinding Kakbah.

Puisi al-Mu’allaqat berbentuk qasidah (ode) panjang, dan memiliki tema bermacam-macam, yang menggambarkan keadaan, cara, dan gaya hidup orang-orang Arab Jahiliah. Selain memiliki sebutan al-Mu’allaqat, puisi-puisi yang digantungkan tersebut juga memiliki sebutan lain, antara lain:

1. As-Sumut (Kalung), karena menurut orang-orang Arab Jahiliah, rangkaian puisi-puisi yang tergantung pada dinding Kakbah berbentuk seperti kalung yang tergantung pada dada wanita.

2. Al-Mudzahhabaat (yang ditulis dengan tinta emas), karena puisi-puisi yang tergantung pada dinding Kakbah ditulis dengan menggunakan tinta yang terbuat dari emas.

3. Al-Qasha’id al-Masyhuraat (Kasidah-kasidah yang terkenal), karena puisi-puisi yang tergantung pada dinding Kakbah tersebut adalah puisi-puisi terkenal yang ada saat itu dibandingkan dengan puisi-puisi yang lainnya.

4. As-Sab’u at-Tiwal (Tujuh buah puisi yang panjang-panjang), karena puisi-puisi yang tergantung pada dinding Kakbah tersebut terdiri dari tujuh buah puisi dan panjang-panjang. Nama ini diberikan oleh orang yang berpendapat bahwa puisi yang tergantung pada dinding Kakbah tersebut ada tujuh buah.

5. Al-Qasha’id al-Tis’u (Sembilan buah kasidah), karena puisi-puisi yang tergantung pada dinding Kakbah itu terdiri dari sembilan buah puisi. Nama ini diberikan oleh orang-orang yang berpendapat bahwa puisi-puisi yang tergantung tersebut terdiri dari sembilan buah puisi.

6. Al-Qasha’id al-‘Asru (Sepuluh buah kasidah), karena puisi-puisi yang tergantung pada dinding Kakbah itu terdiri dari sepuluh buah puisi. Nama ini diberikan oleh orang-orang yang berpendapat bahwa puisi-puisi yang tergantung tersebut terdiri dari sepuluh buah puisi.

Sejarah sastra Arab mencatat sepuluh penyair al-Mu’allaqat, yaitu Umru al-Qais bin Hujrin bin al-Harits al-Kindi, Zuhair bin Abi Sulma, an-Nabigah adz-Dzibyani, al-A'sya al-Qaisi, Lubaid bin Rabi'ah al-Amiri, Amr' bin Kultsum at-Taghlibi, Tharafah bin Abdul Bakri, Antarah bin Syaddad al-Absi, al-Harits bin Hiliziah al-Bakri, dan Umayyah bin ash-Shalt.

Penyair Jahiliah lain yang sangat terkenal, tetapi tidak termasuk penyair al-Mu’allaqat, adalah al-Khansa' (w. 664, penyair wanita dari kabilah Mudhar yang akhirnya memeluk Islam), al-Khutaiyah (w.679, juga berasal dari kabilah Mudhar dan masuk Islam), Adi bin Rabi'ah (w. 531, dikenal dengan nama al-Muhalhil), Sabit bin Aus al-Azdi (w.510, dikenal dengan nama asy-syanfari).

posted by APC~Indonesia @ 08.42  
0 Comments:

Posting Komentar

<< Halaman Depan
 
APC~INDONESIA

APC~Indonesia

See my complete profile
Ngobrol Bareng


ShoutMix chat widget

Tulisan Terbaru
Arsip Kami
Situs Para Penyair Arab
Links APC~Indonesia
Belajar Bahasa Arab
Buku Yang Direkomendasikan

Tambahkan

Blogger Templates